//SEJARAH
CIKAL BAKAL
Umat perdana Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik berawal dari peristiwa baptisan pertama pada tanggal 11 Oktober 1970. Saat itu terjadilah karya penyelamatan dan kabar gembira di Desa Srondol dan sekitarnya.
Peristiwanya berawal dari suatu permintaan oleh sejumlah keluarga Srondol secara lisan dan berulang-ulang, dan akhirnya permintaan itu diungkapkan dalam surat tanggal 25 Juni 1968 disampaikan kepada Paroki Karangpanas, sepengetahuan Kepala Desa dan Lembaga Desa Srondol Wetan, yang intinya mohon agar sejumlah orang yang ingin memeluk agama Katolik mendapat pelajaran agama Katolik.
Permintaan itu dikabulkan, lalu dimulailah pelajaran agama Katolik untuk pertama kalinya. Pada awalnya pelajaran agama Katolik hanya diikuti oleh beberapa keluarga, dan dalam pelajaran berikutnya jumlah katekumen bertambah jumlahnya, sehingga menimbulkan persoalan bagaimana menampung dan melayani katekumen tersebut. Maka diambil keputusan, bahwa tempat pelajaran agama dilaksanakan bergilir, bergantian dari rumah ke rumah katekumen yang mampu menampung jumlah katekumen.
Setelah kurang lebih dua tahun mengikuti pelajaran agama Katolik, 20 (dua puluh) orang dari kelompok katekumen Srondol ini dibaptis pada tanggal 11 Oktober 1970. Mereka yang dibaptis pada tanggal 11 Oktober 1970 itulah umat cikal bakal Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik.
KAPEL SRONDOL
Pada waktu itu secara geografis wilayah Srondol dan Banyumanik adalah wilayah gerejani dari Paroki Karangpanas. Oleh karena itu secara pastoral umat Katolik yang ada di sini pun dilayani oleh Gereja Karangpanas.
Sebelum Perumnas Banyumanik dibangun, banyak umat Katolik yang pindah dari tempat lain dan bermukim di Srondol. Ada yang bersifat sementara, ada pula yang menetap. Yang tinggal sementara sebagian besar adalah mereka yang tinggal di asrama militer dan asrama brimob, karena tugas dinas. Yang menetap pada umumnya keluarga-keluarga muda yang bekerja di kota Semarang bawah, mereka membeli tanah dan rumah di wilayah Srondol yang relatif murah. Setelah Perumnas Banyumanik diresmikan, bertambahlah jumlah umat Katolik yang tinggal di Banyumanik.
Dewan Paroki Karangpanas dalam rapatnya memutuskan membentuk panitia pembangunan Kapel dengan tugas utamanya adalah mencari dan menghimpun dana untuk membangun Kapel di Desa Srondol Wetan. Berkat usaha panitia, dibelilah sebidang tanah seluas 2.020 m2, di dalamnya berdiri dua buah bangunan rumah kecil dan sangat sederhana. Rumah itulah yang sementara digunakan untuk tempat ibadat umat.
Tanggal 6 Mei 1970 dimulailah pembangunan Kapel. Umat Srondol menyediakan diri dan menyediakan tenaganya untuk bergotong royong, mencari material bangunan, sebisanya yang dapat dilakukan.
TERGUSUR
Pada tahun 1976 terdengar berita santer bahwa di Srondol akan dibangun jalan lingkar atau jalan tol Semarang Selatan, antara Srondol – Jatingaleh, tepat pada altar Kapel Santa Maria Fatima Srondol. Yang akhirnya mengakibatkan kapel tergusur oleh pembangunan jalan tol tersebut.
Dalam suasana gelisah dan prihatin umat Stasi Srondol menghayati kondisi itu. Yayasan Papa Miskin Paroki Karangpanas berjuang untuk memperoleh ganti rugi yang memadai dari panitia pembebasan tanah. Dewan Stasi Srondol mengupayakan agar misa kudus setiap Minggu tetap dapat dilaksanakan.
Mengulang pengalaman sebelumnya, terjadilah kembali tempat ibadat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menempati rumah umat yang memungkinkan dan tidak terlalu jauh dengan lokasi kapel semula.
STASI BANYUMANIK
Dalam perjalanan waktu, tahun 1979, Perumnas Banyumanik mulai ditempati oleh para penghuni barunya. Di antara mereka ada keluarga-keluarga Katolik yang berasal dari berbagai paroki, baik dalam maupun luar kota Semarang.
Sementara Yayasan Papa Miskin Paroki Karangpanas berjuang memilih lokasi baru untuk mendirikan tempat ibadah/kapel pengganti. Dewan Stasi Srondol membentuk panitia pembangunan kapel yang baru dengan petunjuk langsung dari Keuskupan Agung Semarang.
Setelah melalui pertimbangan secara cermat serta mengantisipasi situasi dan kondisi daerah Banyumanik dan sekitarnya dengan proyeksi 50 tahun mendatang, maka dipilihlah lokasi calon kapel dengan ukuran yang memadai, yaitu di Jl. Kanfer Raya (lokasi gereja sekarang).
Pada tahun 1980 terwujudlah bangunan berukuran 8 x 15 meter, digunakan untuk kapel. Sejak saat itu Stasi Srondol mengubah nama stasi menjadi Stasi Santa Maria Fatima Banyumanik.
GEREJA BANYUMANIK
Kehadiran penghuni Perumnas Banyumanik menambah jumlah umat Katolik di stasi ini. Konsekuensinya, kapel baru pun tidak mampu menampung seluruh umat, diperkirakan jumlah umat waktu itu sekitar 350 KK.
Pada saat pelaksanaan ekaristi hari Minggu, jam 09.00 WIB, sebagian umat terpaksa berdiri di luar/halaman tanpa tempat duduk dan peneduh. Tentu menjadi dambaan umat stasi agar semua umat dapat mengikuti ekaristi dalam suasana yang nyaman.
Sebagai tindak lanjut atas ketidakmampuan Kapel Banyumanik menampung umat saat perayaan ekaristi, maka dalam rapatnya pada tanggal 16 Oktober 1981, Dewan Paroki Karangpanas membentuk Panitia Pembangunan Gereja Banyumanik.
Pada tanggal 15 Januari 1982 gambar situasi Gereja telah siap, termasuk IMB Gereja tanggal 29 Mei 1982 telah diterima, maka dipilihlah tanggal 1 Juni 1982 bertepatan dengan hari pesta pelindung permandian Rama Kardinal, dilaksanakan secara resmi peletakan batu pertama oleh Rama Kardinal, disaksikan oleh pejabat pemerintah Kota Semarang, wakil dari Kanwil Depag Provinsi Jawa Tengah, Tripida (saat itu) dan undangan lainnya.
Bangunan seluas 767 m2, terdiri dari bangunan induk dan pringgitan, pastoran, menara dan gapura selesai dikerjakan dalam waktu empat bulan, mulai 1 Juni s.d. akhir September 1982. Suatu pekerjaan yang luar biasa, betapapun biaya pembangunan yang harus disediakan oleh panitia tidak selancar seperti yang diharapkan.
Gereja Santa Maria Fatima Banyumanik berbentuk joglo menunjukkan artistik Jawa kuno, pemberkatannya dilakukan oleh Mgr. Yulius Darmatmadja SJ, Uskup Keuskupan Agung Semarang, pada tanggal 13 Oktober 1982 dalam upacara yang sangat sederhana.
Pada saat pemberkatan itu, umat Stasi Banyumanik memperoleh anugerah besar dari Keuskupan Agung Semarang, yaitu diterimanya peningkatan status dari Stasi menjadi Paroki dengan nama Paroki Santa Maria Fatima Banyumanik.
GEDUNG BARU
Gereja joglo yang dibangun Bapak Kardinal mampu menampung sekitar 600 orang. Dalam rentang waktu 20 tahun (1982-2002), jumlah umat Paroki Banyumanik bertambah 3.000 jiwa.
Mengingat jumlah umat yang semakin berkembang, disadari bahwa gereja joglo tidak lagi mampu menampung umat, maka mulai dipikirkan gedung gereja yang lebih besar yang mampu menampung sekitar 1.400 orang.
Pada zaman Rama Petrus Subyakto Pr sudah mulai dipikirkan gambar rancangan pengembangan gedung gereja joglo. Tahapan pengkajian ulang desain gedung gereja ditempuh melalui berbagai pendekatan, mulai dari kegiatan pertemuan, diskusi sampai seminar. Sebagai tindak lanjut, pada bulan Mei 2003, dibentuk panitia pembangunan gereja yang diketuai oleh Bapak Alb. Kriswadhono dengan koordinator pelaksana pembangunan Bapak A. Juddy Prasinto.
Pada tahap pertama, panitia membangun pastoran terlebih dahulu. Gedung pastoran diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo pada tanggal 23 November 2003.
Pada tahap kedua, dibangunlah gedung gereja. Peletakan batu pertama gereja dengan pondasi plat setempat dilakukan tepat pada jam 00.00 tanggal 15 Agustus 2004 oleh Rama BYL. Subagio Pr, Rama M. Sapta Margana Pr, Rama R. Triwijayanto Pr.
Pembangunan gereja yang baru mempertahankan gereja joglo dan menara, sekaligus diberi sentuhan unsur budaya Jawa. Hal itu tampak dari tabernakel yang berbentuk gunungan yang terbuat dari batu aras Wonosari. Gunungan sebagai simbol pohon kehidupan, dengan harapan orang akan mampu menghadapi rintangan dan mengandalkan serta mengarahkan diri kepada Tuhan.
Pada awalnya proses pembangunan sempat mandeg, kemudian dievaluasi dan dibentuk panitia pembangunan yang baru di bawah pimpinan Rama R. Triwijayanto Pr. Berbagai cara ditempuh panitia untuk menggalang dana, antara lain mengamen di Jakarta dan Semarang, pentas wayang orang dengan dukungan Paguyuban ARISTAB (Arisan dan Tabungan), menanam kangkung dan menjualnya, menjual rongsokan dan kaos, fund rising di Jakarta, malam keakraban dengan artis Lisa A. Ariyanto.
Dengan penuh semangat dan tidak mudah menyerah, panitia mengemban kepercayaan untuk membangun rumah Tuhan. Tuhan itu Maha Murah dan memberikan rejeki kepada umat Banyumanik. Gedung gereja yang baru itu diberkati oleh Mgr. Ignatius Suharyo pada tanggal 25 November 2007, dan kemudian diresmikan oleh Prof. Dr. Ir. Purnomo Yusgiantoro dan Drs. H. Ali Mufiz, MPA (Gubernur Jawa Tengah).
Pemberkatan dan peresmian gedung gereja yang baru tersebut menjadi puncak rangkaian HUT ke-25 (pesta perak) pada tahun 2007. Sebelumnya, sejak 20 September 2007 sudah diselenggarakan kegiatan yang bersifat liturgis (ziarah ke makam para rama, misa lansia, misa arwah, dsb) dan lomba-lomba (merangkai bunga, baca Kitab Suci, mazmur, desain pataka, menggambar, bazar, donor darah, dsb).
GEDUNG DARMOJOEWONO
Di bawah bimbingan Rama R. Heru Subyakto Pr, pembangunan dilanjutkan dengan membangun gedung pelayanan pastoral yang diberi nama gedung Darmojuwono. Gedung ini digunakan untuk ruang sekretariat paroki, balai pengobatan, gedung Dewan Paroki, ruang kerja Rama, perpustakaan, ruang gamelan, aula pertemuan, kamar mandi/wc, dan toko paroki.
Gedung Darmojuwono diberkati oleh Mgr. J. Pujasumarta pada tanggal 30 Januari 2011. Dalam homilinya, Mgr. J. Pujasumarta mengungkapkan, “Kiranya tepat bila gedung ini dinamakan gedung Darmojuwono. Karena selain untuk mengenang Bapak Kardinal Darmojuwono yang pernah berkarya di paroki ini, juga untuk menggali falsafah hidup Bapak Kardinal yang sangat luar biasa dan menjadi teladan umat di sini”.